GAM dan Darul Islam II

Teungku Ilyas Leubé, lahir di Keunawat, Takengon tahun 1923. Dua tahun lebih muda dari Tengku Hasan di Tiro. Teungku Ilyas Leubé merupakan Komandan Resimen V Aceh Tengah dan petinggi Darul Islam Indonesia - Aceh. Seorang yang alim (ulama), berkarakter dan konsisten dari Tanöh Gayo. Setelah Darul Islam selesai, ia masih tetap pada keyakinannya memperjuangkan Islam di Aceh.

Bagi saya, ia tokoh pergerakan Islam lintas generasi di Aceh. Pertautannya dengan Tengku Hasan sudah dimulai sejak masa sekolah di Bireuen, hingga berlanjut ke bangku kuliah di Pulau Jawa. Teungku Ilyas kuliah di UII Jakarta, Tengku Hasan di UII Yogyakarta.

Teungku Ilyas dan Teungku Hasan memiliki hubungan emosional yang kuat dan dekat. Mereka dipertemukan karena ideologi yang sama. Sehingga, beberapa hari sebelum Aceh Merdeka di deklarasikan Teungku Hasan bertemu dengan Teungku Ilyas di pedalaman Takengon untuk mematangkan formulasi gerakannya. Dalam Aceh Merdeka, Teungku Ilyas adalah salah satu deklarator yang menjabat Dewan Syura (disamping Teungku Ilyas Cot Plieng dan Teungku Hasbi Geudong) sekaligus Menteri Kehakiman Aceh Merdeka. Setelah dr. Muchtar meninggal, posisi Perdana Menteri Aceh Merdeka digantikan oleh beliau.

Tanggal 15 April 1982, Satgas B dibawah pimpinan Mayor. Inf. Subowo (Wadan Yonif-122) menyergap Teungku Ilyas Leubée di pegunungan Jeunib bersama dua pengikutnya; Teungku Idris Ahmad (Gub. AM Wil. Batée Iliék), dan Teungku Yacop Piah (Urusan Logistik AM). Beliau syahid bersama anak buahnya.

Dalam penyergapan ini, TNI menyita satu pucuk senjata jenis LE, 74 butir peluru, sebuah mesin tik portable, radio transitor, 20 kg beras, 8 kg gula pasir, dan 5 kg bubuk kopi, serta beberapa dokumen rahasia  Aceh Merdeka.

Hal ini membuktikan, bahwa Darul Islam dan Aceh Merdeka memiliki benang merah yang kuat secara ideologi. Hanya saja, platform gerakan yang dibangun sedikit berbeda. Wajar, kondisi geopolitik kala itu sedang bergerak memutar haluan (dari Pan Islamisme ke Nasionalisme).

Sehingga, Teungku Hasan yang paham kondisi itu tahu bagaimana harus melakukan formulasi gerakannya. Sebagian penulis, menganggap bahwa GAM berorientasi sekuler dan nasionalis. Menurut saya, tidak.

Secara ideologi, GAM sangat kental dengan Islam. Dan kondisi ini telah menyebabkan beberapa pentolan Darul Islam bergabung dengan GAM semisal Teungku Ilyas Leubée. Biasnya, ketika hari ini GAM ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai gerakan nasionalis, maka pandangan ini melahirkan tafsiran yang salah.

Terkesan rasis dan chauvistik (Ashabiyah). Padahal, secara ideologi saya tidak menemukan itu. Taksiran saya, beberapa tokoh GAM di Aceh tidak mampu menerjemahkan bagaimana ideologi GAM melakukan formulasi.

Maka tidak heran, saat ini saya mengamati ada beberapa kelompok yang berbeda secara pemikiran;

1⃣ Pro Darul Islam dan Kontra Aceh Merdeka. Biasanya, mereka adalah orang yang memiliki sentimen terkait sejarah GAM dan Darul Islam, serta cenderung menolak bahwa GAM memiliki keterkaitan dengan Darul Islam. Mereka memandang, Teungku Hasan mengkhianati DI. Secara narasi, sejarah dan sentimen terkait ini sebarkan oleh Teungku Fauzi Hasbi Geudong/Abu Jihad (Adik dr. Muchtar Hasbi) yang pernah menjabat Panglima Angkatan Darat Aceh Merdeka dan kecewa dengan pandangan gerakan Teungku Hasan.

2⃣ Pro Aceh Merdeka dan Kontra Darul Islam. Mereka adalah kelompok sebaliknya dari yang pertama. Melihat Darul Islam sebagai pengkhianat, menuduh Abu Dawöed 'menjual Aceh", dan menuduh Darul Islam sebagai alasan untuk memperkaya diri.

3⃣ Kontra Darul Islam dan Aceh Merdeka. Saya melihat, kelompok ini beranjak dari landasan konflik masa lalu; sebagian besar kaum Ulée Balang, Garis Pemikiran Ulama PERTI yang kontra dengan PUSA, dan beberapa diantaranya keturunan bangsawan.

4⃣Pro Darul Islam dan Aceh Merdeka. Kelompok ini adalah simpul yang mendukung kesepahaman ideologi antara Darul Islam dan Aceh Merdeka, salah satunya adalah Teungku Ilyas Leubée yang selanjutnya mewarisi perjuangan ini kepada anak-anak beliau. Dan beberapa petinggi Aceh Merdeka yang menerima mandat perjuangan dari orangtuanya (notabene berasal dari Darul Islam).

Sampai saat ini di Aceh, beberapa fraksi ini masih betarung secara pemikiran. Bahkan, diramaikan dengan diksi pemikiran dari beberapa tokoh di Pulau Jawa. Sebagai kaum intelektual, kita harus berdiri secara independen, melihat sejarah sebagai dialetika yang lumrah saat ada perbedaan, bukan karena sentimen dan kebencian.

Terlepas dari pro dan kontra, bagi saya sosok Teungku Ilyas Leubé menjadi simbol konsistensi atas keyakinan yang merekatkan, bukan memisahkan. Ikon pluralisme gerakan yang akan selalu menjadi catatan perjuangan Aceh yang begitu melelahkan. GAM dan Darul Islam adalah satu kesatuan perjuangan atas kezaliman, ia dan Teungku Hasan menjadi simbol untuk menolak segala diskriminasi dan perbedaan.

Saya pastikan, jika ada petinggi GAM/Generasi Darul Islam yang sikap nya 'memisahkan' maka pahamilah bahwa ia buta bagaiamana sejarah Aceh ini dibangun!

Al Fatihah.

Comments

Popular Posts